Zona Malang – Kesabaran Pemerintah Kota Malang atas polemik dinding pembatas di Perumahan Griya Shanta, Kelurahan Mojolangu, tampaknya telah habis. Setelah tiga kali Surat Peringatan (SP) untuk membongkar tembok tersebut diabaikan oleh warga, Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) Kota Malang kini memastikan akan mengambil langkah paksa.
Kepala Satpol PP Kota Malang, Heru Mulyono, menegaskan bahwa tahapan persuasif telah berakhir. Dinding yang menghalangi rencana strategis jalan tembus Griya Shanta-Candi Panggung itu kini berstatus sebagai objek penindakan yustisi.
“Ya harus dibongkar. Warga sudah diberi waktu untuk bongkar mandiri sampai SP 3. Sudah selesai, warga tetap gak membongkar kan? Ya sudah, nanti kita lakukan dengan bagian dari kegiatan yustisi,” ucap Heru saat ditemui di Gedung DPRD Kota Malang, Rabu (5/11/2025).
Jalan tembus sepanjang 500 meter ini sejatinya bukan sekadar jalan pintas antar-perumahan. Ini adalah salah satu rencana Pemkot Malang untuk menciptakan “katup pelepas” baru yang sangat dibutuhkan untuk mengurai kemacetan kronis di kawasan Jalan Candi Panggung dan arteri utama Jalan Soekarno-Hatta. Bagi ribuan komuter harian, ojek online, dan warga dari arah Tumpang atau Batu yang hendak menuju pusat kota, jalur ini adalah solusi pemangkas waktu yang signifikan.
Namun, rencana ini membelah warga. Di satu sisi, masyarakat umum dan warga di luar klaster perumahan sangat mendukung pembukaan akses. Di sisi lain, sebagian warga Perumahan Griya Shanta yang telah lama menikmati ketenangan dan eksklusivitas lingkungan mereka, menolak keras. Mereka khawatir jalan tembus ini akan mengubah kawasan hunian mereka yang tenang menjadi jalur arteri yang bising, rawan kecelakaan, dan berdebu. Ini adalah cerminan klasik dari konflik “NIMBY” (Not In My Back Yard), di mana sebuah proyek yang bermanfaat bagi publik ditolak karena berdampak langsung pada kenyamanan segelintir warga.
Kekuatan Pemkot Malang untuk “memaksa” dalam kasus ini berakar pada legalitas. Berdasarkan data tata ruang, jalan yang kini ditutup tembok oleh warga itu telah berstatus sebagai jalan umum milik pemerintah. Dengan status ini, dinding pembatas yang dibangun warga, terlepas dari siapa yang mendanainya, dianggap sebagai bangunan liar ilegal yang menghalangi fungsi fasilitas publik. Inilah yang menjadi dasar hukum bagi Satpol PP untuk tidak lagi bernegosiasi dan beralih ke mode penindakan.
Heru Mulyono pun menggunakan analogi yang tajam untuk menegaskan bahwa keinginan warga tidak bisa lagi mengalahkan aturan yang ada. Ia mengibaratkan penolakan tersebut seperti seorang pelaku kriminal yang tidak mau ditangkap. “Kita gak bisa mengikuti keinginan warga, ‘oh aku gak mau’. Mohon maaf, seperti contohnya kejahatan umum, dia mencuri, kemudian gak mau ditangkap kan gak bisa toh? Pasti penyidik punya cara,” terangnya.
Meski begitu, Heru menjelaskan bahwa pembongkaran paksa tidak akan dilakukan secara gegabah. Keputusan “kapan” eksekusi akan dilakukan kini berada di tangan Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS). “Belum bisa dikatakan besok, atau lusa, tergantung dari putusan penyidik juga melihat situasi lingkungannya,” tukasnya, mengisyaratkan bahwa tim akan melakukan asesmen risiko sosial sebelum alat berat diturunkan.
Kisruh di Griya Shanta ini menjadi sebuah preseden penting bagi penataan kota di Malang. Bagi Anda sebagai warga, sikap tegas Pemkot ini mengirimkan sinyal yang sangat kuat. Ini adalah penegasan bahwa pemerintah siap dan akan menggunakan instrumen hukumnya untuk mengambil alih kembali aset-aset publik, seperti jalan, yang mungkin selama ini “dikuasai” atau ditutup secara sepihak oleh sebuah komunitas perumahan. Ini adalah pertarungan antara kenyamanan privat melawan kepentingan publik yang lebih luas, dan dalam kasus ini, kepentingan publik tampaknya akan dimenangkan.