Zonamalang.com – Menteri Kebudayaan, Fadli Zon, mengonfirmasi bahwa nama almarhum Presiden Soeharto telah secara resmi diusulkan dan memenuhi seluruh persyaratan untuk dianugerahi gelar Pahlawan Nasional. Hal ini disampaikannya setelah melaporkan total 49 nama calon (40 usulan baru dan 9 usulan lanjutan) kepada Presiden Prabowo Subianto di Istana Kepresidenan, Jakarta, pada Rabu (5/11).
Fadli Zon, yang juga menjabat sebagai Ketua Dewan Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan (GTK), menegaskan bahwa seluruh nama yang diajukan, termasuk Soeharto, telah lolos proses seleksi berlapis. “Kalau semuanya memenuhi syarat ya, jadi tidak ada yang tidak memenuhi syarat,” katanya. Ia menjelaskan bahwa usulan ini telah lolos kajian di tingkat kabupaten/kota, provinsi, hingga Tim Peneliti dan Pengkaji Gelar Pusat (TP2GP).
Usulan penganugerahan gelar pahlawan untuk Presiden Soeharto sebenarnya telah menjadi diskursus politik selama lebih dari satu dekade. Namun, baru di bawah pemerintahan Presiden Prabowo Subianto—yang notabene adalah menantu Soeharto—dan dengan Fadli Zon, yang dikenal sebagai salah satu politisi yang lama mengagumi era Orde Baru, sebagai Menteri Kebudayaan sekaligus Ketua Dewan Gelar, usulan ini menemukan momentum terkuatnya untuk melaju ke meja presiden.
Saat ditanya mengenai justifikasi utama, Fadli Zon menyoroti jasa Soeharto selama perang kemerdekaan, jauh sebelum ia menjadi presiden. Alasan terkuat yang diajukan adalah peran sentral Soeharto sebagai komandan dalam Serangan Umum 1 Maret 1949 di Yogyakarta. “Itu kan menandakan Pak Harto sebagai Komandan pertempuran Serangan Umum 1 Maret, punya jasa di dalam perang mempertahankan kemerdekaan,” tambahnya. Ia juga menyebut jasa lainnya seperti operasi pembebasan Irian Barat.
Fadli Zon menjelaskan betapa krusialnya Serangan Umum 1 Maret bagi eksistensi Republik di mata dunia. “Karena Belanda pada waktu itu mengatakan Republik Indonesia sudah cease to exist, sudah tidak ada lagi. Pemimpinnya sudah ditangkap, wilayah sudah dikuasai,” katanya. Serangan tersebut, menurut Fadli, membantah klaim Belanda di forum PBB dan membuktikan bahwa RI masih ada dan berjuang.
Tentu saja, pengusulan nama Soeharto tidak pernah lepas dari kontroversi besar terkait pelanggaran HAM berat di masa lalu. Menanggapi hal ini, khususnya kritik dari tokoh seperti Franz Magnis Suseno mengenai keterlibatan Soeharto dalam genosida 1965-1966, Fadli Zon dengan tegas membantahnya. “Enggak pernah ada buktinya, enggak pernah terbukti, pelaku genosida apa? Enggak ada,” katanya. Ia menantang balik pihak yang mengklaim dengan meminta bukti, fakta, dan data sejarah yang valid.
Debat mengenai warisan Soeharto memang selalu terbelah menjadi dua. Di satu sisi, ia dipuja sebagai “Bapak Pembangunan” yang berhasil membawa stabilitas ekonomi selama 32 tahun. Di sisi lain, era Orde Baru identik dengan pemberangusan oposisi, korupsi, kolusi, nepotisme (KKN), dan yang tergelap, tragedi kemanusiaan 1965-1966 yang hingga kini menjadi luka sejarah yang belum terselesaikan.
Kini, dengan lolosnya nama Soeharto dari seluruh tim pengkaji, keputusan akhir berada sepenuhnya di tangan Presiden Prabowo Subianto. Penganugerahan gelar pahlawan nasional secara teknis adalah hak prerogatif presiden. Pengumuman resmi siapa saja yang akan dianugerahi gelar Pahlawan Nasional tahun ini rencananya akan dilakukan bertepatan dengan Hari Pahlawan pada 10 November 2025.
Bagi publik, langkah ini menandakan sebuah upaya yang sangat serius dari pemerintah saat ini untuk membingkai ulang narasi sejarah Soeharto. Dengan menjadikan jasa perang kemerdekaannya sebagai justifikasi utama, pemerintah secara strategis menyoroti satu babak heroik dalam karier militernya, sambil secara eksplisit menepis (atau dalam hal ini, membantah) babak-babak kelam yang mengikutinya selama 32 tahun berkuasa. Ini bukan lagi sekadar soal pemberian gelar, tetapi tentang versi sejarah mana yang akan diabadikan secara resmi oleh negara.